Jumat, 20 Juli 2018

"Aku Telah Menzalimi Anak Tomat"


By
Mujiburrahman Al-Markazy

Pagi itu, setelah melakukan zikir pagi. Biasanya saya lakukan ketika selesai sholat Subuh. Jika tidak ada lagi kawan diskusi, maka lantunan zikir secara perlahan menghiasi hati. Setelah kurang lebih 90 atau 100 menit setelah azan subuh dikumandangkan, saya tunaikan sholat Isyroq. Sholat sunnah jenis ini secara nama hanya dikenal dalam mazhab Hanafi. Silahkan buka kitab Riyadu Sholihin karya Imam An Nawawi, maka kamu tidak akan temukan nama sholat sunnah Isyroq di situ. Padahal itu kitab salah satu panduan dalam mazhab Syafi'i. Sebenarnya secara jenis sholat, ada tapi namanya awal Dhuha. Maksudnya, kalau kita mau sholat Dhuha sudah boleh walaupun bukan waktu yang afdhal. 

Yah, sudahlah bukan itu yang akan saya ceritakan. Setelah Sholat Isyroq, saya langsung mengelilingi masjid, maksudnya jalan-jalan bukan tawaf yah. Nanti salah sangka lagi. Hehe. 

Kebetulan kediaman saya sekarang bersebelahan dengan masjid. Tepatnya 15 meteran. Mata saya tertoleh ke tumpukan gelas air mineral yang 2 hari lalu sempat saya kemas dan rapikan. 
"Astagfirullah, anak tomat yang saya pindahkan kemarin dulu itu, satu pohonnya tewas." Apa pasal. Oh saya baru teringat bahwa, kemarin setelah bekam salah satu kawan yang sakit. Saya lupa untuk menyiram tanaman tersebut. 

Saya telah melakukan pembibitan sejak 10 hari yang lalu, ketika masih deras diguyur hujan bumi 'konasara', Konawe Utara. Saya mendiami bumi konasara ini baru sekitar 3 minggu yang lalu. Setelah melihat pekarangan masjid yang luas. Bunga yang diisi pada pot bunga juga sudah pada 'layu'. "Kasihan tidak terurus." Batinku. Pembibitan mulai saya lakukan. Sebenarnya, saya ingin mengisi dengan bibit kol, tomat, cabe dan sebagainya. Tapi, apalah daya bibit di wilayah inipun sangat terbatas. Bermodalkan satu sachet bibit tomat. Ku taburi wadah pot bunga yang telah tersia-siakan itu. 

Setelah sekitar 1 atau 2 sentimeter bibit tomat itu tumbuh. Ku pindahkan ke tempat yang terpisah agar tidak terlalu rapat. Dikhawatirkan, kalau terlalu rapat, maka tanaman akan sulit untuk berkembang. Bahkan, condong akan mati. Ku ingin langsung memindahkan ke pot yang besar itu. Pot yang saya maksud adalah kotak persegi panjang berukuran sekitar 60 cm x 200 cm. Wow, gede banget. Maka, demi penataan yang rapi nantinya. Saya putuskan untuk tidak diletakkan pada pot raksasa itu dulu. Saya pindahkan ke tempat semi persemaian berikutnya. 

Yah, demi memanfaatkan gelas air mineral yang telah berserakan. Ku putuskan untuk mentransitkan bayi tomat itu terlebih dahulu di situ, pot mungil. Saya berencana jika telah tumbuh sekitar 50 sentimeter, maka tomat anakan itu akan saya poskan pada pot gede tersebut. 

Beberapa telah saya pindahkan. Dikarenakan sedikit kerepotan menerapi kawan yang sakit sehingga, hampir tiba waktu azan Magrib berkumandang. Hati kecil saya mengingatkan, "itu bayi tomat yang kamu pindahkan, tolong disiram". 
"Yah", batin saya mengiyakan. Tapi, dasar nafsu malas saya. "Ah, kemarin kan, baru disiram. Biar besok pagi saja disiram lagi,  bisa kok". Akhirnya, batinku membenarkan rayuan gombal dari nafsuku. 

Pagi itu saya tengok. "Kasihan, bayi tomatku, sudah tidak bernyawa". Pikirku dalam diam. Mungkin saya akan mendapatkan azab akibat perbuatan ku. Kenapa bisa? Bisa. Coba tengok sabda Rasulullah saw, tentang seorang wanita ahli ibadah di zaman Bani Israel. Ia sehari-hari tergolong kuat beribadah. Bayangkan, ia seharian berpuasa dan pada malam harinya disibukkan dengan qiyamul lail, sholat malam. Sudah seharian puasa, malampun tidak tidur akibat lamanya beribadah. Apakah ia masuk syurga...? Nabi Saw, sampaikan "tidak". Bahkan ia menjadi penghuni neraka. Why? Karena demi menjaga kekhusyu'an ibadah, seekor kucing telah ia letakkan di dalam kurungan. Sudah beberapa hari kucing itu ia biarkan tanpa diberi makan. akhirnya,  kucing tersebut berakhir dengan  kematian. 

Saya jadi khawatir dengan nasib saya di akhirat. Mengingat kisah dari wanita yang disebutkan dalam Shohih Bukhari di atas. "Huuup..., heh.....". Saya mencoba menstabilkan pikiran saya dengan menghirup udara segar masuk ke otak dan menghembuskannya. "Astagfirullah al-adzim". Saya beristigfar menyesali perbuatan saya kemarin. Saya berjanji untuk tidak menyia-nyiakan sisa tanaman yang lain. 

Wahai sahabatku, perhatikanlah apa yang menjadi tanggung jawab mu. Seekor kucing tadi, kalau mati kelaparan di hutan. Maka, tidak ada yang berdosa karena di hutan. Bukan suatu unsur kesengajaan. Apalagi kesengajaan itu berada di bawah kontrol dan kemampuan kita. 

Wahai saudaraku yang budiman. Bukankah, dulu ada seorang wanita pelacur yang divonis masuk syurga oleh Nabi saw karena hanya memberikan minum kepada seekor anjing yang hampir mati kehausan. Yang diberi minum adalah seekor anjing. Dalam agama kita, Islam. Anjing adalah hewan yang najis pada sebagian tubuhnya. Bukan najis sedang seperti hewan lain. Tapi, najis besar. 

Wanita itu hanya memberikan seteguk air melalui sepatu yang ia miliki karena sumur itu tidak memiliki timba. Sumur pada zaman itu ada tangga untuk bisa masuk ke dalam agar bisa minum. Anjing itu hanya melongo di atas permukaan sumur yang dalam. Ketika sang wanita hendak keluar dari sumur. Wajahnya yang ayu, telah bertemu muka dengan seekor hewan najis tersebut. Ia bukan jengkel dan mengusir anjing itu. Tapi, ia kembali masuk ke dalam sumur untuk mengambil air. 

Bagaimana caranya. ia letakkan air di sepatunya. Setelah sepatunya dirasa telah penuh. Sepatu itu digigitnya. Bayangkan, dua tangan digunakan untuk memanjat tangga sumur. Sambil nafas masih tersengal-sengal ia menggigit sepatunya dengan kuat. Agar tidak tumpah. Luar biasa tenaga terkuras hebat. Giginya menerkam sepatu, nafasnya diatur, konsentrasi dijaga. Supaya, air atau sepatu tidak miring. Nanti pasti airnya akan tumpah. Pekerjaannya jadi sia-sia belaka. 

Dalam hatinya ia iba melihat keadaan anjing yang sangat kehausan. Ia mengingat bahwa bagaimana susah payahnya dirinya di tengah padang tandus itu. Ketika diusir dari kampungnya karena telah melakukan zina. Hukuman zina pada saat itu, selain disuruh bertaubat. Konsekuensinya, ia harus diasingkan selama satu tahun di luar negerinya. 

Air itu diberikan. Anjing meminumnya dengan begitu lahap. Setelah dahaga anjing itu sirna. Mereka berpisah. Masing-masing mencari jalan hidup sendiri-sendiri. Tergambar begitu ikhlas dan penyayang. Allah yang begitu Maha Kasih telah memutuskan untuk menerima amalan yang kelihatan sepele dibandingkan dengan ibadah wanita pertama tadi. Demikianlah Allah swt, menerima amalan yang murni ikhlas dan rasa belas kasih yang dalam kepada sesama. Bahkan, rasa cinta dan kasih harus diberikan kepada semua ciptaan-Nya. 

Nabi Muhammad saw, yang terkasih telah menyebutkan di dalam hadits. 

اِرْحَمْ مَنْ فِي الأَرْضِ يَرْحَمْكَ مَنْ فِي السَّمَاءِ

Sayangilah makhluk yang ada dibumi, niscaya yang ada dilangit akan menyayangimu”. (Hadits Shahih, Riwayat ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, Lihat Shahiihul jaami’ no. 896).
Islam sangat menganjurkan agar nilai-nilai kasih sayang tidak luntur dalam kondisi apapun. Satu ketika, datanglah seorang Arab Baduy menjumpai Sayyidina Ali ra. ia sangat heran melihat perilaku seorang presiden muslim seluruh dunia saat itu. Saat itu diistilahkan dengan khalifah. Yang mengherankan bagi si baduy adalah begitu gagahnya sang khalifah di medan laga. Disegani baik kawan maupun lawan. Tapi, ketika berada di dalam rumahnya bersama dengan anak-anaknya ia menjadi kuda-kudaan bagi kedua putranya, Hasan dan Husain r.huma. Bahkan begitu mesra ia mencium kedua putranya. 

Lantas sang baduy berceloteh, "Adapun saya memiliki 11 orang anak, tapi tidak ada satupun yang pernah saya cium putra-putrku sebagai mana yang saya lihat sekarang". Kata Sayyidina Ali ra. Mengutip sabda Rasulullah saw. "Manlaa yarhamu walaa yurhamu". Barangsiapa yang tidak menyayangi maka dia tidak akan disayangi. Sebenarnya, bukan hanya disayangi makhluk tapi disayangi oleh yang menciptakan seluruh makhluk, Allah swt. 

Kita perhatikan pula ketika terjadi berkecamuk perang. Apa nasehat Baginda Rasulullah saw, "Jangan menebang pohon, membunuh anak-anak, membunuh wanita, orang tua renta dan jangan membunuh hewan ternak". Betapa indah kasih sayang dalam islam sehingga walaupun dalam keadaan perang sedang berkecamuk masih memperhatikan adab dan kasih sayang. Inilah alasan mengapa Islam diterima dengan mudah pada zaman itu. Bukan seperti yang diceritakan oleh para pembenci Islam. 

Lihatlah, bagaimana Islam masuk di Indonesia, tanpa perang. Di Negeri India 7 abad Islam pernah berkuasa di sana, tapi dunia menyaksikan di sana mayoritas adalah Hindu. Karena memang Islam dihadirkan bukan untuk menumpahkan darah. Tapi, demi menciptakan stabilitas sosial di seluruh dunia. Jangankan skala dunia, skala mikro dalam kehidupan saja seperti bagaimana mengurus hewan peliharaan, merawat tanaman. Membuat lubang pada pot dengan 2 lubang minimal agar ada sirkulasi udara pada akar. Ini bukan hanya berkaitan erat dengan sekedar tumbuh kembang tanaman. Tapi, lebih daripada itu, untuk mengamalkan perintah Ilahiah dalam ajaran yang suci, Islam. 

Kalau mau mengetahui islam. Janganlah melirik pada kelompok minoritas ekstrimis yang mencari makan dengan proyek kekerasan mereka. Kita tidak tahu. Apakah ada kerja sama antara keamanan dan perusuh. Sehingga, proyek keamanan bertambah terus budgetnya setiap tahun. Wallahu alam. Kita tidak tahu. Yang jelas, kita adalah pribadi yang dihadirkan untuk menciptakan perdamaian dengan mengamalkan nilai-nilai luhur keislaman itu.

Terimakasih, semoga bermanfaat.

==========
Wanggudu, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara
Jumat, 20 Juli 2018
Pukul: 23:42, ditengah kesunyian malam.

===========
Bahan Bacaan:
Al-Kandahlawi, Zakariyah. 2004. Kitab Fadhilah Sedekah. Bandung. Pustaka Ramadhan

Al-Kandahlawi, Yusuf. 2015. Kitab Hayatu Sahabah, Perikehidupan Para Sahabat Ra. Bandung. Pustaka Ramadhan.

Jumat, 13 Juli 2018

Otobiografi Pribadi

OTOBIOGRAFI


Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Aku bukanlah siapa-siapa dan bukanlah apa-apa. Aku dilahirkan kurang lebih 31 tahun yang lalu, tepatnya 1 Mei 1987 di sebuah kepulauan timur Indonesia, Wakatobi. Wilayah Wakatobi adalah salah satu wilayah dari Kepulauan Buton. Dulu di wilayah Kerajaan Buton. Hem, sebenarnya wilayah itu layak diberikan Otsus alias otonomi khusus. Why? Hem, ini bukan ngomong soal politik dan kebijakan pemerintah. Hanya saya ingin menyampaikan bahwa Kerajaan Buton adalah satu-satunya wilayah yang tidak dijajah oleh Belanda dan sekutunya. Kerajaan Buton dengan semangat persatuannya bergabung dalam barisan Sang Saka Merah Putih sebelum kemerdekaan Indonesia. Ah, sudahlah nanti lagi saya ceritakan.

Saya tidak dibesarkan di negeri para Ode itu. Setelah potong tali pusat, ah atau apalah dalam istilah ilmu kedokteran, 40 hari setelahnya, aku dihijrahkan orang tua bersama ke ambon. Itu sih cerita yang saya dapat. Waktu itu, mana tau saya, hehehe. Kami sekeluarga berhijrah ke Negeri Para Raja yang dalam manuskrip Ibnu Batutah menyebutkan sebagai Negeri Al-Mulk, yang sekarang dikenal dengan sebutan Maluku.

Yah, negeri yang sejam lebih cepat waktunya dari negeri tempat kelahiran ku, Sulawesi Tenggara. Walaupun, kami numpang tinggal di Maluku- iya numpang tinggal, memang hidup di dunia ini cuman numpang tinggal- yang beribukota Ambon itu, tapi tidak menjadi bagian dari penduduk Ambon. Hem, terus? Kami tinggalnya di Pulau Seram. Di pulau seram alias Nusa Ina itu saya dibesarkan. Negeri Nusa Ina adalah negeri tersubur dari semua kepulauan negeri para Raja itu. Hampir semua hasil pertanian Maluku berasal dari negeri itu. Yah, sebagian besar. Pantaslah, negeri itu disebut Nusa Ina yang bermakna "Pulau Ibu". Memang sih, kalau kita lihat dari segi makna hanya seorang ibu yang bisa melahirkan. Hem, dari Nusa Inalah, banyak hasil bumi yang ditelorkan.

Saya menyelesaikan SD dan tsanawiyah di Desaku, Desa Katapang, Kecamatan Seram Bagian Barat. Dulu masih kecamatan, sekarang sih, sudah berdiri menjadi satu kabupaten tersendiri. Dibesarkan dari keluarga sederhana dari Ibu, Wa Jae dan Ayah La Mo'a. Keduanya berasal dari satu suku yang sama, satu kampung, eh, satu tetangga. Hem, maksudnya bersampingan rumah. Mungkin bagi anak muda sekarang istilahnya cinlok yah...? hehehe

Sebenarnya tidak. Karena, Bapak saya merantau berlayar sebagai pelaut sejak lulus SD. Di negeri para pelancong, Buton kala itu, pendidikan tinggi bukanlah hal yang penting- mungkin karena lemah perekonomian- bagi mereka yang penting sudah bisa membaca, menulis dan berhitung, kalau lelaki langsung melancong mengikuti saudagar dan juragan kapal layar kala itu, menggunakan perahu pinisi. Sedangkan, bagi perempuan selain perdalam ilmu agama pada guru ngaji di kampung akan belajar ketrampilan menenun, menjahit, masak dan selainnya.

Yah, takdir berkata lain, walaupun ke ujung dunia melancong, eh jodoh malah tetangga, "tetanggaku idola ku". Hem. Itulah singkat mengenai siapa dan bagaimana orang tua ku.

Eit, ada lagi yang saya mau tambahin Wakatobi adalah sebuah akronim dari 4 pulau yang mendiaminya. Wa, ka, to, dan bi adalah singkatan dari (pulau) Wanci, (pulau) Kaledupa, (pulau) Tomia dan (pulau) Binongko. Pada pulau yang berawalan To saya dan keluarga saya berasal. Yah, Pulau Tomia.

Dari 6 bersaudara, saya yang terakhir di lahirkan di Pulau Tomia, walaupun saya anak ke-2 dari 6 bersaudara. Yah, setelah potong tali plasenta yang bersejarah itu, keluarga kecil saya telah berhijrah total menjadi penduduk Nusa Ina.

Alhamdulillah, dengan pendidikan karakter yang cukup "keras" dari orang tua. Saya selalu mendapatkan ranking pertama semenjak kelas satu SD sampai lulus Madrasah Tsanawiyah di kampung Katapang tersebut. Satu moto pendidikan orang tua adalah "cukup sayangi anak mu pada makan, minum dan pakaiannya, jangan manjakan mereka pada bagaimana bekerja". Alhamdulillah, dengan moto pendidikan dari orang tua yang telah turun-temurun itulah kami tiga orang anak lelaki semua memiliki parang untuk memangkas rumput di kebun cengkeh. Kami telah diajarkan bagaimana menikmati kesusahan dalam perjuangan hidup. Sehingga, ketika saya harus menceritakan apa itu susah dan mengeluh, mungkin saya tidak tahu. Baik bapak atau ibu adalah orang yang humoris. Hem, terlihat kan dari gaya tulis saya. Hehehe. Ceria dan "tersenyum" adalah lauk istimewa kami dalam memandang hidup.

Kenangan yang tidak pernah terhapus dari benak ku adalah ketika perdana mendaki ke kebun cengkeh yang tingginya 500 kaki dari permukaan laut. Ketika sudah capek dalam mendaki bapak ku menaikan saya pada pundaknya  walaupun di pundaknya ada juga beban pikulan beliau. Dengan senang dan ikhlasnya bapak menambahkan saya sebagai beban pikulan tambahannya. Ibu saya juga tidak lepas dari banyaknya barang yang di angkutnya. Di kepalanya ada wadah bundar tempat nasi dan lauk pauk, baskom besar itu dijunjungnya di atas kepala sembari melihat kiri-kanan jalanan yang serba miring itu. Sementara tangan kanannya memegang kendali baskom yang dijunjungnya tangan kirinya memegang satu cerek air minum.

Empat puluh lima derajat kemiringan. Pemandangan hijau di sebelah gunung yang kami daki terhampar di sebelah nan hijau dan cantik. Burung Kakak Tua putih berkejar-kejaran di angkasa bernyanyi menyambut kedatangan kami dengan lengkikan alunan zikirnya yang lembu, terpaan angin laut yang membelah pegunungan itu. Sendu, sejuk nan damai.

Saya menengok ke arah wajah bapak,  peluhnya yang berjatuhan laksana rintik-rintik hujan yang menyirami bumi. Hem, disitu saya melihat ada cinta, ketulusan dan pengorbanan. Sesekali berdiri istirahat, menghela nafas, tenang dan damai. "Heeeeep.... heeeeem". Nafas diatur dengan teratur, pulihkan energi secara perlahan. "Heeeeeep..... heeeeeem". dihela dan dilepaskan dengan lembut. Walaupun, sekarang beliau sudah uzur dan jarang mendaki ke gunung Lidah Anjing itu.

Ups, "Lidah Anjing", memang harus saya sebut karena itulah namanya. Hem, kenapa dinamakan dengan nama tersebut, sampai sekarang masih misteri. Tapi, satu yang pasti bahwa siapa saja yang mendaki gunung tersebut maka dia akan sangat kecapaian. Hem, sehingga orang sering menceritakan, "saya daki gunung ini sampai lidah saya menjulur laksana seekor doggy yang kelelahan." Hem, maaf ya kalau tidak berkenan, masalahnya ada kisahku tentang gunung "Lidah Anjing", jadi yang mau gimana lagi, pasti aku sebutin ceritanya.

Hem, ada yang penasaran siapa namaku kan...? Saya dikenal dengan nama Mujiburrahman Al-Markazy, tapi nama pemberian dari orang tua adalah Mujiono. Nama yang khas kejawaan. Walaupun, saya bukan wong jowo. Hem, inilah pengaruh persentuhan bapak ku dengan masyarakat Jawa di wilayah pelayarannya. Ia sedari dulu, bersama perahu pinisi dari Buton membawa hasil rempah-rempah, cengkeh, pala, ikan Laut yang telah kering menuju dari timur Indonesia menuju barat Indonesia,tepatnya di Pulau Jawa. Begitupun, ketika balik dari Jawa membeli barang pecah belah, perkakas dapur untuk dijual kembali di daerah timur Indonesia. Disebabkan oleh persentuhan dengan wilayah Jawa itulah, terilhamilah bapak ku. Maka, jadilah nama saya Mujiono, asli Buton. Padahal kalau nama asli ciri khas Buton, kalau lelaki di awali dengan 2 huruf La dan perempuan di awali dengan 2 huruf Wa. Coba lihat bagaimana nama Ibu dan bapak saya. Hem.

Saya melanjutkan SMA, di SMANSA Namlea, Pulau Buru. Masih se-provinsi dengan tempat saya dibesarkan, Maluku. Saya telah mengalami masa pahit, sejak akhir meninggalkan SD di kampung tempat aku dibesarkan. "Ambon berdarah". Itulah, istilah yang tidak akan hilang dibenak kami warga Maluku. Semua negeri kena dampaknya.

Seingat saya, ketika akhir SD, tepatnya kami sedang pengayaan dari kepala sekolah kami,- persiapan ujian akhir nasional- walaupun beliau beragama kristen, tapi kami hidup sangat rukun dan damai. Beliau walaupun nasrani juga tidak pernah mengajarkan kekerasan kepada kami. Hem, entah takdir atau kutukan. Kerusuhan itu, meluluh-lantakan semuanya. Semua harapan dan kenangan. Setelah saya dewasa, barulah saya pahami itu adalah ulah para politikus pengkhianat Bangsa yang mencoba untuk membuat adu domba di kalangan masyarakat yang diikat dengan persaudaraan pela-gandong. Inilah, kutukan akibat politikus pengkhianat bangsa.

Pela-Gandong adalah persaudaraan yang mengikat 2 belah negeri walaupun lintas agama, suku, daerah dan budaya, "tradisi tidak boleh saling nikah", karena telah menjadi sumpah leluhur terdahulu untuk saling menjaga laksana saudara kandung walaupun beda agama. Semua luluh-lantah.

Ketika di Namlea saya tinggal bersama paman, adik dari Ibu. Di sana, awalnya saya mendapatkan ranking ke-2 pada semester pertama, tapi alhamdulillah pada semester selanjutnya sampai lulus meninggalkan SMANSA Namlea, masih di atas angin di dalam bumi di bawah langit. Masih ranking pertama maksudnya, cuman tidak enak menyebut di atas angin. Hem, takutnya lupa diri. Emangnya Gatut Koco...?
Hem, diatas angin, di dalam bumi, di bawah langit, Hemmmm.

Sebenarnya masih banyak yang ingin diceritakan tapi nanti sajalah. Hem. Hehehe. Setelah selesai dari SMANSA Namlea tahun 2006 saya melanjutkan studi ke Unpatti   (Universitas Pattimura) Ambon. Di kampus itu saya tidak berjalan mulus karena kerusuhan pun terjadi walau tidak seperti kejadian pertama tahun 99. Yah, tepatnya 19 Januari 1999, yang dikenal dengan istilah "Idul Fitri berdarah". Ah, karena malas "mengurus" atau terjebak dalam kerusuhan itu akhirnya saya meninggalkan kampus.

Beberapa tahun setelahnya, saya hijrah ke provinsi asal kelahiran saya, Sulawesi Tenggara. Saya memulai kuliah baru dari nol pada Universitas Muhammadiyah Kendari (UMK). Di kampus baru ini, saya mengambil jurusan keguruan pada program studi Bahasa Inggris. Sebelumnya, ketika di Ambon mengambil Fakultas Pertanian, Jurusan Kehutanan. Hem, karena saya ingin berdakwah keliling dunia, saya putuskan untuk rubah haluan kapal ke Bahasa Inggris.

Di kendari, Sulawesi Tenggara saya belajar tentang dunia dan akhirat. Maksudnya, di samping saya aktif di kampus saya juga tinggal di Pesantren Alternatif Mahasiswa dan Hafidz. Alhamdulillah, kuliah saya rampung, hafalan Al-Qur'an saya tinggal dikit lagi selesai insya Allah. Dicelah kesibukan dakwah, mengajar dan kerja "bisnis herbal", saya berusaha untuk menyelesaikan hafalan saya yang tinggal beberapa juz lagi selesai. Insya Allah.

6 Sawal 1439 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 21 Juni, saya ditugaskan oleh Kiyai dari pesantren Shohibul Qur'an Kendari untuk mengisi tugas sebagai imam di Masjid Raya Assalam, Wanggudu, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Memang, demi misi suci untuk membangun umat dan dakwah itu saya berdomisili di sini. Wanggudu, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Daerah yang baru i mekarkan sebagai kabupaten sekitar 11 tahun yang lalu.

Walaupun, sudah satu dasawarsa kabupaten ini masih dihitung terpencil baik dari segi duniawi dan ukhrawi. 116 km dari Ibu kota provinsi, Kendari. Tapi, jika ditengok sarana dan prasarana, ah, sudahlah tidak proporsional. Jalanan begitu rusak parah. Harusnya jarak segitu bisa hanya di tempuh dalam waktu 3 jam. Tapi, disebabkan begitu rusaknya jalanan poros lintasan 2 provinsi Sulawesi Tenggara - Sulawesi Tengah itu bisa dicapai hingga 5-6 jam, molor 2-3 jam. Apa penyebabnya...? Tidak usah saya ceritakan detail, takutnya nanti malah membahas aib. Aib si ini, aib komunitas itu. Ah, sudahlah.

Di Negeri Wanggudu yang saya tempati ini, adalah bagian dari misi dan obsesi ku sejak kecil, bukan karena negerinya yang menjadi obsesi ku tapi misi dakwah dan membangun Pondok Pesantren, itulah misi terpendam ku sejak SMA. "Ku ingin membangun pesantren se-antero jagad". Mungkin, dari negeri yang mungil ini saya meniti. "Hem, aroma keberhasilan itu semakin dekat". Optimis ku.

Hem, biar bagaimanapun di dalam darah saya mengalir dua persenyawaan kepemimpinan dari mendiang 2 kakek ku, baik bapak dari ibu ataupun bapak dari bapak. Dari cerita yang saya dapat dari temannya kakek, bahwa 2 kakek ku itu pernah menahkodai 2 kapal, maksudnya perahu pinisi zaman itu. Seorang menahkodai 2 perahu dalam satu waktu. Kebayang tidak, memimpin 2 perahu pinisi besar dengan muatan puluhan ton tanpa menggunakan komunikasi WA, android, telepon, atau sekedar handy talky. Wow, amazing, memimpin 2 perahu pinisi dalam satu waktu yang berlainan kondisi perahunya. Beda orang yang mendiaminya, beda permasalahan yang kadang rutin terjadi di atas laut.

Sedangkan, kala itu berlayar hanya bermodalkan kecepatan angin dan pengaturan layar dan pengendalian kemudi yang baik. Untuk bisa mencapai tanah Jawa bisa menghabiskan masa sekitar 2 bulan terkatung-katung di atas laut. Padahal, sekarang hanya bisa ditempuh dengan 3 jam menggunakan burung besi, pesawat dan 3 hari 3 malam menggunakan kapal Pelni. Hem, alhamdulillah Allah besarkan saya dari 2 kepemimpinan besar. Semoga, saya bisa menapaki jejak pendahulu saya dari segi kepemimpinan. Aammiin. 

Sampai sekarang saya masih mencari tulang rusuk yang kurang. Wakwaw. Hehehe. Banyak orang yang berceloteh, "Ustadz, kapan nikah...?"-walaupun sebenarnya saya bukan ustadz hanya pembantu ustadz, kadang saya tidak nyaman juga dipanggil dengan istilah ini hem-, saya hanya bisa menjawab. "Insya Allah tidak lama lagi". Demikian, yang bisa saya sampaikan. Bravo kelas alinea ku.
Salam literasi. #Alineaku.

==============