Jumat, 13 Juli 2018

Otobiografi Pribadi

OTOBIOGRAFI


Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Aku bukanlah siapa-siapa dan bukanlah apa-apa. Aku dilahirkan kurang lebih 31 tahun yang lalu, tepatnya 1 Mei 1987 di sebuah kepulauan timur Indonesia, Wakatobi. Wilayah Wakatobi adalah salah satu wilayah dari Kepulauan Buton. Dulu di wilayah Kerajaan Buton. Hem, sebenarnya wilayah itu layak diberikan Otsus alias otonomi khusus. Why? Hem, ini bukan ngomong soal politik dan kebijakan pemerintah. Hanya saya ingin menyampaikan bahwa Kerajaan Buton adalah satu-satunya wilayah yang tidak dijajah oleh Belanda dan sekutunya. Kerajaan Buton dengan semangat persatuannya bergabung dalam barisan Sang Saka Merah Putih sebelum kemerdekaan Indonesia. Ah, sudahlah nanti lagi saya ceritakan.

Saya tidak dibesarkan di negeri para Ode itu. Setelah potong tali pusat, ah atau apalah dalam istilah ilmu kedokteran, 40 hari setelahnya, aku dihijrahkan orang tua bersama ke ambon. Itu sih cerita yang saya dapat. Waktu itu, mana tau saya, hehehe. Kami sekeluarga berhijrah ke Negeri Para Raja yang dalam manuskrip Ibnu Batutah menyebutkan sebagai Negeri Al-Mulk, yang sekarang dikenal dengan sebutan Maluku.

Yah, negeri yang sejam lebih cepat waktunya dari negeri tempat kelahiran ku, Sulawesi Tenggara. Walaupun, kami numpang tinggal di Maluku- iya numpang tinggal, memang hidup di dunia ini cuman numpang tinggal- yang beribukota Ambon itu, tapi tidak menjadi bagian dari penduduk Ambon. Hem, terus? Kami tinggalnya di Pulau Seram. Di pulau seram alias Nusa Ina itu saya dibesarkan. Negeri Nusa Ina adalah negeri tersubur dari semua kepulauan negeri para Raja itu. Hampir semua hasil pertanian Maluku berasal dari negeri itu. Yah, sebagian besar. Pantaslah, negeri itu disebut Nusa Ina yang bermakna "Pulau Ibu". Memang sih, kalau kita lihat dari segi makna hanya seorang ibu yang bisa melahirkan. Hem, dari Nusa Inalah, banyak hasil bumi yang ditelorkan.

Saya menyelesaikan SD dan tsanawiyah di Desaku, Desa Katapang, Kecamatan Seram Bagian Barat. Dulu masih kecamatan, sekarang sih, sudah berdiri menjadi satu kabupaten tersendiri. Dibesarkan dari keluarga sederhana dari Ibu, Wa Jae dan Ayah La Mo'a. Keduanya berasal dari satu suku yang sama, satu kampung, eh, satu tetangga. Hem, maksudnya bersampingan rumah. Mungkin bagi anak muda sekarang istilahnya cinlok yah...? hehehe

Sebenarnya tidak. Karena, Bapak saya merantau berlayar sebagai pelaut sejak lulus SD. Di negeri para pelancong, Buton kala itu, pendidikan tinggi bukanlah hal yang penting- mungkin karena lemah perekonomian- bagi mereka yang penting sudah bisa membaca, menulis dan berhitung, kalau lelaki langsung melancong mengikuti saudagar dan juragan kapal layar kala itu, menggunakan perahu pinisi. Sedangkan, bagi perempuan selain perdalam ilmu agama pada guru ngaji di kampung akan belajar ketrampilan menenun, menjahit, masak dan selainnya.

Yah, takdir berkata lain, walaupun ke ujung dunia melancong, eh jodoh malah tetangga, "tetanggaku idola ku". Hem. Itulah singkat mengenai siapa dan bagaimana orang tua ku.

Eit, ada lagi yang saya mau tambahin Wakatobi adalah sebuah akronim dari 4 pulau yang mendiaminya. Wa, ka, to, dan bi adalah singkatan dari (pulau) Wanci, (pulau) Kaledupa, (pulau) Tomia dan (pulau) Binongko. Pada pulau yang berawalan To saya dan keluarga saya berasal. Yah, Pulau Tomia.

Dari 6 bersaudara, saya yang terakhir di lahirkan di Pulau Tomia, walaupun saya anak ke-2 dari 6 bersaudara. Yah, setelah potong tali plasenta yang bersejarah itu, keluarga kecil saya telah berhijrah total menjadi penduduk Nusa Ina.

Alhamdulillah, dengan pendidikan karakter yang cukup "keras" dari orang tua. Saya selalu mendapatkan ranking pertama semenjak kelas satu SD sampai lulus Madrasah Tsanawiyah di kampung Katapang tersebut. Satu moto pendidikan orang tua adalah "cukup sayangi anak mu pada makan, minum dan pakaiannya, jangan manjakan mereka pada bagaimana bekerja". Alhamdulillah, dengan moto pendidikan dari orang tua yang telah turun-temurun itulah kami tiga orang anak lelaki semua memiliki parang untuk memangkas rumput di kebun cengkeh. Kami telah diajarkan bagaimana menikmati kesusahan dalam perjuangan hidup. Sehingga, ketika saya harus menceritakan apa itu susah dan mengeluh, mungkin saya tidak tahu. Baik bapak atau ibu adalah orang yang humoris. Hem, terlihat kan dari gaya tulis saya. Hehehe. Ceria dan "tersenyum" adalah lauk istimewa kami dalam memandang hidup.

Kenangan yang tidak pernah terhapus dari benak ku adalah ketika perdana mendaki ke kebun cengkeh yang tingginya 500 kaki dari permukaan laut. Ketika sudah capek dalam mendaki bapak ku menaikan saya pada pundaknya  walaupun di pundaknya ada juga beban pikulan beliau. Dengan senang dan ikhlasnya bapak menambahkan saya sebagai beban pikulan tambahannya. Ibu saya juga tidak lepas dari banyaknya barang yang di angkutnya. Di kepalanya ada wadah bundar tempat nasi dan lauk pauk, baskom besar itu dijunjungnya di atas kepala sembari melihat kiri-kanan jalanan yang serba miring itu. Sementara tangan kanannya memegang kendali baskom yang dijunjungnya tangan kirinya memegang satu cerek air minum.

Empat puluh lima derajat kemiringan. Pemandangan hijau di sebelah gunung yang kami daki terhampar di sebelah nan hijau dan cantik. Burung Kakak Tua putih berkejar-kejaran di angkasa bernyanyi menyambut kedatangan kami dengan lengkikan alunan zikirnya yang lembu, terpaan angin laut yang membelah pegunungan itu. Sendu, sejuk nan damai.

Saya menengok ke arah wajah bapak,  peluhnya yang berjatuhan laksana rintik-rintik hujan yang menyirami bumi. Hem, disitu saya melihat ada cinta, ketulusan dan pengorbanan. Sesekali berdiri istirahat, menghela nafas, tenang dan damai. "Heeeeep.... heeeeem". Nafas diatur dengan teratur, pulihkan energi secara perlahan. "Heeeeeep..... heeeeeem". dihela dan dilepaskan dengan lembut. Walaupun, sekarang beliau sudah uzur dan jarang mendaki ke gunung Lidah Anjing itu.

Ups, "Lidah Anjing", memang harus saya sebut karena itulah namanya. Hem, kenapa dinamakan dengan nama tersebut, sampai sekarang masih misteri. Tapi, satu yang pasti bahwa siapa saja yang mendaki gunung tersebut maka dia akan sangat kecapaian. Hem, sehingga orang sering menceritakan, "saya daki gunung ini sampai lidah saya menjulur laksana seekor doggy yang kelelahan." Hem, maaf ya kalau tidak berkenan, masalahnya ada kisahku tentang gunung "Lidah Anjing", jadi yang mau gimana lagi, pasti aku sebutin ceritanya.

Hem, ada yang penasaran siapa namaku kan...? Saya dikenal dengan nama Mujiburrahman Al-Markazy, tapi nama pemberian dari orang tua adalah Mujiono. Nama yang khas kejawaan. Walaupun, saya bukan wong jowo. Hem, inilah pengaruh persentuhan bapak ku dengan masyarakat Jawa di wilayah pelayarannya. Ia sedari dulu, bersama perahu pinisi dari Buton membawa hasil rempah-rempah, cengkeh, pala, ikan Laut yang telah kering menuju dari timur Indonesia menuju barat Indonesia,tepatnya di Pulau Jawa. Begitupun, ketika balik dari Jawa membeli barang pecah belah, perkakas dapur untuk dijual kembali di daerah timur Indonesia. Disebabkan oleh persentuhan dengan wilayah Jawa itulah, terilhamilah bapak ku. Maka, jadilah nama saya Mujiono, asli Buton. Padahal kalau nama asli ciri khas Buton, kalau lelaki di awali dengan 2 huruf La dan perempuan di awali dengan 2 huruf Wa. Coba lihat bagaimana nama Ibu dan bapak saya. Hem.

Saya melanjutkan SMA, di SMANSA Namlea, Pulau Buru. Masih se-provinsi dengan tempat saya dibesarkan, Maluku. Saya telah mengalami masa pahit, sejak akhir meninggalkan SD di kampung tempat aku dibesarkan. "Ambon berdarah". Itulah, istilah yang tidak akan hilang dibenak kami warga Maluku. Semua negeri kena dampaknya.

Seingat saya, ketika akhir SD, tepatnya kami sedang pengayaan dari kepala sekolah kami,- persiapan ujian akhir nasional- walaupun beliau beragama kristen, tapi kami hidup sangat rukun dan damai. Beliau walaupun nasrani juga tidak pernah mengajarkan kekerasan kepada kami. Hem, entah takdir atau kutukan. Kerusuhan itu, meluluh-lantakan semuanya. Semua harapan dan kenangan. Setelah saya dewasa, barulah saya pahami itu adalah ulah para politikus pengkhianat Bangsa yang mencoba untuk membuat adu domba di kalangan masyarakat yang diikat dengan persaudaraan pela-gandong. Inilah, kutukan akibat politikus pengkhianat bangsa.

Pela-Gandong adalah persaudaraan yang mengikat 2 belah negeri walaupun lintas agama, suku, daerah dan budaya, "tradisi tidak boleh saling nikah", karena telah menjadi sumpah leluhur terdahulu untuk saling menjaga laksana saudara kandung walaupun beda agama. Semua luluh-lantah.

Ketika di Namlea saya tinggal bersama paman, adik dari Ibu. Di sana, awalnya saya mendapatkan ranking ke-2 pada semester pertama, tapi alhamdulillah pada semester selanjutnya sampai lulus meninggalkan SMANSA Namlea, masih di atas angin di dalam bumi di bawah langit. Masih ranking pertama maksudnya, cuman tidak enak menyebut di atas angin. Hem, takutnya lupa diri. Emangnya Gatut Koco...?
Hem, diatas angin, di dalam bumi, di bawah langit, Hemmmm.

Sebenarnya masih banyak yang ingin diceritakan tapi nanti sajalah. Hem. Hehehe. Setelah selesai dari SMANSA Namlea tahun 2006 saya melanjutkan studi ke Unpatti   (Universitas Pattimura) Ambon. Di kampus itu saya tidak berjalan mulus karena kerusuhan pun terjadi walau tidak seperti kejadian pertama tahun 99. Yah, tepatnya 19 Januari 1999, yang dikenal dengan istilah "Idul Fitri berdarah". Ah, karena malas "mengurus" atau terjebak dalam kerusuhan itu akhirnya saya meninggalkan kampus.

Beberapa tahun setelahnya, saya hijrah ke provinsi asal kelahiran saya, Sulawesi Tenggara. Saya memulai kuliah baru dari nol pada Universitas Muhammadiyah Kendari (UMK). Di kampus baru ini, saya mengambil jurusan keguruan pada program studi Bahasa Inggris. Sebelumnya, ketika di Ambon mengambil Fakultas Pertanian, Jurusan Kehutanan. Hem, karena saya ingin berdakwah keliling dunia, saya putuskan untuk rubah haluan kapal ke Bahasa Inggris.

Di kendari, Sulawesi Tenggara saya belajar tentang dunia dan akhirat. Maksudnya, di samping saya aktif di kampus saya juga tinggal di Pesantren Alternatif Mahasiswa dan Hafidz. Alhamdulillah, kuliah saya rampung, hafalan Al-Qur'an saya tinggal dikit lagi selesai insya Allah. Dicelah kesibukan dakwah, mengajar dan kerja "bisnis herbal", saya berusaha untuk menyelesaikan hafalan saya yang tinggal beberapa juz lagi selesai. Insya Allah.

6 Sawal 1439 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 21 Juni, saya ditugaskan oleh Kiyai dari pesantren Shohibul Qur'an Kendari untuk mengisi tugas sebagai imam di Masjid Raya Assalam, Wanggudu, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Memang, demi misi suci untuk membangun umat dan dakwah itu saya berdomisili di sini. Wanggudu, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Daerah yang baru i mekarkan sebagai kabupaten sekitar 11 tahun yang lalu.

Walaupun, sudah satu dasawarsa kabupaten ini masih dihitung terpencil baik dari segi duniawi dan ukhrawi. 116 km dari Ibu kota provinsi, Kendari. Tapi, jika ditengok sarana dan prasarana, ah, sudahlah tidak proporsional. Jalanan begitu rusak parah. Harusnya jarak segitu bisa hanya di tempuh dalam waktu 3 jam. Tapi, disebabkan begitu rusaknya jalanan poros lintasan 2 provinsi Sulawesi Tenggara - Sulawesi Tengah itu bisa dicapai hingga 5-6 jam, molor 2-3 jam. Apa penyebabnya...? Tidak usah saya ceritakan detail, takutnya nanti malah membahas aib. Aib si ini, aib komunitas itu. Ah, sudahlah.

Di Negeri Wanggudu yang saya tempati ini, adalah bagian dari misi dan obsesi ku sejak kecil, bukan karena negerinya yang menjadi obsesi ku tapi misi dakwah dan membangun Pondok Pesantren, itulah misi terpendam ku sejak SMA. "Ku ingin membangun pesantren se-antero jagad". Mungkin, dari negeri yang mungil ini saya meniti. "Hem, aroma keberhasilan itu semakin dekat". Optimis ku.

Hem, biar bagaimanapun di dalam darah saya mengalir dua persenyawaan kepemimpinan dari mendiang 2 kakek ku, baik bapak dari ibu ataupun bapak dari bapak. Dari cerita yang saya dapat dari temannya kakek, bahwa 2 kakek ku itu pernah menahkodai 2 kapal, maksudnya perahu pinisi zaman itu. Seorang menahkodai 2 perahu dalam satu waktu. Kebayang tidak, memimpin 2 perahu pinisi besar dengan muatan puluhan ton tanpa menggunakan komunikasi WA, android, telepon, atau sekedar handy talky. Wow, amazing, memimpin 2 perahu pinisi dalam satu waktu yang berlainan kondisi perahunya. Beda orang yang mendiaminya, beda permasalahan yang kadang rutin terjadi di atas laut.

Sedangkan, kala itu berlayar hanya bermodalkan kecepatan angin dan pengaturan layar dan pengendalian kemudi yang baik. Untuk bisa mencapai tanah Jawa bisa menghabiskan masa sekitar 2 bulan terkatung-katung di atas laut. Padahal, sekarang hanya bisa ditempuh dengan 3 jam menggunakan burung besi, pesawat dan 3 hari 3 malam menggunakan kapal Pelni. Hem, alhamdulillah Allah besarkan saya dari 2 kepemimpinan besar. Semoga, saya bisa menapaki jejak pendahulu saya dari segi kepemimpinan. Aammiin. 

Sampai sekarang saya masih mencari tulang rusuk yang kurang. Wakwaw. Hehehe. Banyak orang yang berceloteh, "Ustadz, kapan nikah...?"-walaupun sebenarnya saya bukan ustadz hanya pembantu ustadz, kadang saya tidak nyaman juga dipanggil dengan istilah ini hem-, saya hanya bisa menjawab. "Insya Allah tidak lama lagi". Demikian, yang bisa saya sampaikan. Bravo kelas alinea ku.
Salam literasi. #Alineaku.

==============

Tidak ada komentar:

Posting Komentar